Selasa, 05 Juni 2012

mualaf


Kecenderungan Baru Mualaf di Inggris


http://img168.imageshack.us/img168/2163/carolinebate1.jpg
Caroline Bate
Caroline Bate adalah tipikal perempuan Inggris yang terpelajar. Ia pernah mempelajari bahasa Rusia dan Jerman sebelum akhirnya memilih jurusan manajemen dan mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang itu dari Universitas Cambridge.Lalu apa yang membuat Caroline istimewa? Yang membuatnya istimewa adalah minatnya terhadap agama Islam. Caroline mempelajari Islam dan merasa dirinya sebagai Muslim meski secara resmi ia belum mengucapkan dua kalimat syahadat.

Caroline mewakili kalangan muda, kulit putih dan terpelajar di Inggris yang cenderung memiliki minat untuk mempelajari agama Islam. Sejumlah masjid di London mengakui adanya kecenderungan yang makin meningkat itu, bahkan bukan hanya berminat mempelajari Islam tapi juga menyatakan diri masuk Islam, terutama sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di AS. Seperti Caroline, warga Inggris yang masuk Islam kebanyakan berasal dari kalangan kelas menengah yang sudah mapan, punya karir yang bagus dan memiliki latar belakang kehidupan pribadi dan sosial yang bahagia.

Dalam artikel "Wajah Baru Islam" yang dimuat di situs Islam For Today, penulisnya, Nick Compton menyebutkan bahwa trend semacam itu bukan hal yang baru di Inggris. Ia menyebutkan sejumlah warga asli Inggris ber "darah biru" yang memutuskan untuk menjadi seorang muslim, misalnya Jonathan Birt, putera dari Lord Birt yang masuk Islam pada tahun 1997 dan Joe Ahmed Dobson, putera mantan Menteri Kesehatan Inggris.

Seperti di negara Barat lainnya, isu Islam radikal juga mengemuka di Inggris pasca peristiwa 11 September. Di Inggris, tokoh muslim Abu Hamza Al-Masri ditudingsebagai tokoh radikal yang telah mencekoki anak-anak muda Muslim dengan pemikiran ekstrim. Tapi di sisi lain, justeru makin banyak kalangan kulit putih dari kelas menengah di Inggris yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka mengetahui Islam dari teman-temannya, dari buku bacaan dan dari para juru dakwah di Inggris yang meyakinkan mereka bahwa Islam bukanlah agama misionaris seperti agama Kristen.

Caroline memiliki pengalaman unik bagaimana pertama kali mengenal Islam dan meyakininya sebagai agama yang sempurna dan paling masuk akal. Semuanya berawal ketika teman sekolahnya menikah dengan seorang muslim asal Tunisia. "Tadinya saya cuma ingin mempelajari sisi budayanya dan bukan agamanya. Tapi dari literatur yang saya baca mendorong saya untuk juga membaca tentang ajaran Islam, yang menurut saya sangat masuk akal dan sempurna," kata Caroline.


http://img210.imageshack.us/img210/245/eleanormartinaisya.jpg
Aisya (d/h Eleanor Martin)
Lain lagi pengalaman Roger (bukan nama sebenarnya) yang berprofesi sebaga dokter. Ia mengatakan, sekitar satu setengah tahun yang lalu ia sering membicarakan tentang Islam dengan rekan-rekan kerjanya yang Muslim. "Semua yang saya dengar tentang Islam dari media massa adalah Hizbullah, kelompok gerilya dan sejenisnya. Lalu saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam pada kolega saya yang Muslim dan saya sangat prihatin dengan ketidaktahuan saya selama ini," aku Roger yang kemudian memutuskan masuk Islam.

Bagi para mualaf itu, memeluk Islam ibarat melakukan 'operasi penyamaran'. Mereka harus membaca, bicara, mendengarkan dan belajar tentang Islam secara diam-diam. Yang paling berat adalah ketika mereka harus mengakui keislaman mereka pada teman-teman dan keluarga. Banyak diantara mualaf baru itu yang menghadapi rasa takut, skeptis bahkan respon berupa sikap kebencian.

Eleanor Martin, seorang artis di era tahun 1990-an yang kemudian dipanggil Aisya adalah salah seorang mualaf di Inggris yang mengalami masa-masa berat itu. Ia mengenal Islam dari Mo Sesay, seorang muslim, dalam satu acara yang sama-sama dibintangi oleh Eleanor.

"Yang ada di pikiran saya tentang Islam adalah orang Islam suka membunuh dan lelaki muslim suka memukul perempuan. Tapi pikiran itu berubah setelah saya melihat perilaku Mo Sesay. Kami berdiskusi dan Sesay membuka mata saya tentang Islam yang sebenarnya," ungkap Eleanor yang masuk Islam pada tahun 1996.

Awalnya, Eleanor menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi reaksi keras dari teman-teman dan keluarganya. "Saya sangat khawatir dengan reaksi ayah. Ia seorang Kristiani yang taat dan memilih berhenti dari pekerjaannya untuk menjadi pendeta," ujar Eleanor.

Ia lalu bertemu dengan seorang aktor Amerika keturunan muslim Afrika bernama Luqman Ali. Keduanya menikah dan Eleanor punya alasan untuk memberitahukan keislamannya pada keduaorangtuanya. "Saya pulang ke rumah dan berkata, 'saya ingin mengabarkan bahwa saya sudah menikah dan saya sekarang seorang muslim'. Ibu saya menyambut gembira tapi ayah saya langsung berkomentar 'saya pikir saya ingin minum-minum sekarang'," tutur Eleanor menceritakan pengalamannya masuk Islam.

Namun sebagian mualaf mengakui bahwa tinggal di negara yang multi etnis lebih mudah bagii seorang mualaf. Stefania Marchetti kelahiran Milan, Italia yang hijrah ke London untuk kuliah mengakui, kemungkinan akan sulit baginya untuk masuk Islam di Italia. "Media massa Italia sangat anti-Islam dan masyarakat Italia pada umumnya beranggapan bahwa semua lelaki muslim adalah teroris dan semua perempuan muslim adalah budak," ungkap Marchetti yang awalnya beragama Katolik dan masuk Islam pada tahun 2001.

Masjid-masjid di Inggris memberikan bimbingan bagi para mualaf baru dalam menjalani kehidupan baru mereka sebagai muslim. Berdasarkan sensus tahun 2001, jumlah Muslim di Inggris mencapai 1,6 juta jiwa. Sejak sensus itu terjadi kenaikan jumlah muslim di Inggris sebanyak 400.000 orang. Dan menurut Mendagri Inggris, Jacqui Smith pada tahun 2008 tercatat 10 ribu jutawan Muslim di Inggris dan secara umum komunitas Muslim Inggris telah memberikan kontribusi sebesar 3,1 miliar pounsterling per tahun bagi perekonomian Inggris. (ln/IFT/MualafOnline/eramuslim)
http://img689.imageshack.us/img689/3770/carolinebate2.jpg






















            http://swaramuslim.com/islam/more.php?id=5731_0_4_0_M

Read More

Kamis, 10 Mei 2012

KISAH - KISAH NYATA YANG NON MUSLIM

Kisahmuallaf.com 


 – Huda Dodge lahir dan besar di pinggiran kota Bay Area, San Anselmo. Ia tumbuh dan besar dalam keluarga Kristen. Ayahnya seorang Presbiterian dan ibunya penganut Katolik membuat Huda cukup aktif menghadiri layanan gereja saat usianya masih belia.
Ketika 14 tahun, Huda sudah membantu istri pendeta untuk mengajak di sekolah minggu. Pada jenjang sekolah menengah, ia bahkan mendirikan kelompok pemuda gereja dengan merekrut empat temannya. Ini merupakan kelompok Presbistarian pertama yang dibentuk Huda. Selanjutnya, ia menjadi anggota kelompok Prebistarian yang lebih besar.
Bersama kelompoknya itu, ia kerap melakukan perjalanan menuju Meksiko. Disana, Huda bersama teman-temannya itu mempelajari Alkitab, berdiskusi tentang masalah ketuhanan dan mengumpulkan dana untuk amal.
Dalam diskusi tersebut, Huda mengikuti perdebatan serius tentang apa yang terjadi pada orang-orang yang hidup sebelum Yesus datang. Mereka juga mendiskusikan tentang mengapa Allah yang penuh kasih dan penyayang membutuhkan pengorbanan Yesus untuk mengampuni dosa manusia. Juga, bagaimana bisa satu tuhan terwujud dalam tiga sosok berbeda. “Tetapi tidak ada jawaban yang tepat terkait masalah tersebut,” kenang Huda.
Pertanyaan itu terus terpendam dalam pemikiran Huda. Pertanyaan itu ia bawa saat menghadiri kamp musim panas. Tetap saja, ia belum mendapatkan jawaban yang sesuai dengan logika berpikir.
Kegelisahan pun semakin menjadi, ketik usai kembali dari kamp musim panas, berjuta pertanyaan terendap tanpa ada jawaban yang memuaskan. “Aku suka menghabiskan waktu untuk merenungkan pemikiran tentang Yesus. Nyatanya, ajaran gereja membingungkan ku,” ungkap dia.
Memasuki jenjang pendidikan tinggi, masih belum juga ia menemukan jawaban atas pertanyaannya. Kesibukannya sebagai mahasiswa sempat membuatnya lupa akan pertanyaan itu. Ia pun kian aktif dalam kegiatan sosial dengan mengajar privat siswa yang berasal dari Amerika Tengah. Ia undang mahasiswa dari seluruh dunia, seperti Prancis, Jerman dan Swedia untuk datang ke rumahnya.
Selanjutnya, Huda mengambil pekerjaan sebagai relawan di San Francisco (distrik Tenderloin) untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada pengungsi perempuan. Di kelas, Huda bertemu dengan Fatimah dan Maysoon, dua janda muslim berdarah Cina dari Vietnam. Bersama keduanya, komunikasi belum terbangun lantaran kendala bahasa. Bahasa tubuh pun menjadi andalan untuk memperlancar komunikasi di antara mereka. “Dari pengalaman ini, aku terhubung dengan dunia luar,” kata dia.
Selanjutnya, Huda ambil bagian dalam kelompok diskusi yang melibatkan mahasiswa internasional. Dalam kelompok itu, Huda berkenalan dengan dua mahasiswa Jepang, satu orang mahasiswa Italia dan Palestina. Interaksi antar mereka pun terbangun. Masing-masing menceritakan pengalamannya. Disinilah, Huda berkenalan dengan Islam.
Saat mendengarkan Faris, mahasiswa Palestina, bercerita Huda merasa terkejut. Ia mengingatkan Huda dengan muslim yang dahulu ia kenal seperti Fatima dan Maysoon. Dari cerita Faris, Huda merasa ada sesuatu yang asing tetapi menarik untuk disimak. Ia tidak begitu paham tentang Islam, karena ia tidak pernah tahu apa itu Islam. “Aku pun mulai belajar tentang Islam. Semakin aku mendalaminya, aku semakin tertarik untuk lebih mengenal Islam,” kata dia.
Sayangnya kelompok itu dibubarkan. Toh itu menghalangi Huda untuk berhenti mengenal Islam. Ia pun mengambil mata kuliah studi Islam. Saat mengikuti kelas itulah, pertanyaan yang terjawab dalam diri Huda berangsur-angsur terbuka. “Islam tidak mengenal pengorbanan Yesus bagi manusia. Tapi Islam membahas hal itu. Yang menarik lagi, Islam juga bercerita bahwa Yesus itu adalah Nabi, seperti nabi sebelumnya, Yesus mengajarkan pesan yang sama yakni percaya pada satu Tuhan,” kata dia.
Setelah pertanyaan mengenai tiga sosok Tuhan dalam konsep trinitas terjawab, Huda merasakan kebenaran sejati telah menghinggapinya. Perspektif yang ditawarkan Islam mudah diterima olehnya. Hudaa yang dikagetkan dengan kenyataan itu merasa lemas seketika. Ia merasa butuh ruang lebih luas untuk meyakini dirinya atas apa yang benar.
Pada musim panas berikutnya, Huda kembali melanjutkan studi Islam. Ia mencari informasi tentang Islam di perpustakaan. Ia pun mulai berdiskusi tentang agama-agama Timur.
Beruntung, teman-teman Huda memahami apa yang ia cari. Oleh teman-temannya itu, Huda disarankan untuk mengunjungi Islamic Center yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Sayang, Huda tak jua menemukan Islamic Center lantaran kesibukannya. Huda pun terus melakukan pencariannya sendiri.
Suatu saat, Huda berbincang dengan keluarganya tentang Eskimo. Mereka mengatakan bahwa orang Eskimo memiliki lebih dari 200 kata untuk menyebut salju. Sebab, salju merupakan bagian dari hidup mereka. Malam harinya, bersama keluarga, Huda berbicara tentang 99 nama yang disebut umat Islam untuk Allah. Entah mengapa, Huda secara spontan berbicara tentang masalah itu. “Aku pikir itu penting untuk diketahui oleh mereka,” katanya.
Pada akhir musim panas, Huda kembali ke kampus. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari Masjid di Barat Daya Portland. Ia pun meminta pengurus masjid untuk memberikan nama muslimah yang dapat diajak berdiskusi tentang Islam. Setelah diberikan alamat, Huda mengunjungi muslimah itu. Saat bertemu dengannya, Huda bertanya tentang muslim, seperti bagaimana cara muslim beribadah.
Huda sebenarnya sudah mengetahui hal itu. Tetapi ia tidak puas bila tidak melihat secara langsung bagaimana seorang muslim beribadah. Huda pun mulai mempraktekan bagaimana shalat. Tak beberapa lama, muslimah itu meminta Huda untuk menghadiri acara akikah anaknya. Ia menjemput Huda. “Aku merasa begitu nyaman ketika mereka berbicara tentang Islam. Saat itulah aku merasa baru saja akan memulai hidup baru,” ujarnya.
Sayang, interaksi itu tidak bertahan lama. Kesibukannya membuat ia sulit untuk bertemu dengan muslimah itu. Tapi hal itu tidak menghentikan langkah Huda untuk mencari informasi tentang Islam sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, Huda berulang kali mengunjungi masjid. Di masjid, Huda merasakan pengalaman pertamanya melihat shalat Jum’at. Tak berselang lama, Huda pun memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Enam bulan setelah menjadi muslim, Huda akan menjalani ibadah puasa pertama. Saat itu pula ia telah memikirkan kemungkinan untuk mengenakan jilbab. Huda masih merasa ragu. Konsultasi pun dilakukannya guna membuatnya yakin untuk mengenakan jilbab.
“Pada awalnya aku tidak siap untuk mengenakan jilbab. Karena imanku belumlah kuat. Tapi aku merasa ketika melihat muslimah lain mengenakan jilbab ada semacam rasa tenang didalamnya. Tapi kalau aku memakainya, tentu orang-orang disekitarku akan bertanya, aku belum siap untuk menjawab hal itu,” papar dia.
Akhirnya, momentum Ramadhan memperkuat niat Huda untuk mengenakan jilbab. Huda merasakan berpuasa dibulan Ramadhan membuatnya kian bangga menjadi Muslim. “Sejak itu aku merasa siap untuk menjawab pertanyaan siapapun,” ucapnya.
Diterima Keluarga
Setelah memeluk Islam, Huda memberitahukan keputusannya kepada keluarga. Huda terkejut bahwa keluarganya tidak mempermasalahkan itu. Mereka menerimanya karena mengetahui putusan Huda berdasar kemauannya sendiri bukan paksaan dari orang lain. Namun, penilaian keluarga mendadak berubah setelah Huda mengenakan jilbab.
“Mereka merasa malu denganku. Mereka pikir perubahan yang aku alami terlalu radikal,” kata dia.
Sikap keluarganya kembali berubah ketika Huda memutuskan untuk menikah dengan Faris. Ia bertemu kembali dengan Faris saat berada di kampus. Faris pun menikahi Huda. Keluarga Huda tidak setuju dengan keputusan itu. Sebab, usia Huda dinilai masih muda, dan mereka khawatir dengan masa depannya. “Mereka sebenarnya menyukai suami saya. Tetapi mereka hanya takut dengan masa depan ku,” kenang Huda.
Tiga tahun berlalu, Huda pun memutuskan pindah ke Corvallis, Oregon. Di tempat barunya itu, Faris dan Hda menetap dalam lingkungan komunitas muslim. Di tempat barunya itu, Huda berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ia pun dengan cepat memperoleh pekerjaan,
“Keluargaku akhirnya sadar, dan bangga padaku. Mereka melihat perubahan yang dilakukan justru membuatku bahagia. Hubungan kami pun kembali normal. Melihat hal ini, aku merasa bersyukur Islam menjawab setiap pertanyaanku.”
Read More